Categories
Article

Refleksi.

Tulisan Mitrardi Sangkoyo tentang kampus halaman.

ac9e1c28dcec8c6a008cf9db59588337FISIP bagi saya adalah tempat untuk mengembangbiakkan kegilaan, tempat kau dan aku belajar melepaskan sisa-sisa kewarasan yang kita bawa dalam keranjang-piknik-rajutan setelah melamun di padang rumput hjiau mana pun yang menjadi tempat berpijak kita sebelumnya.

Ia adalah ruang bagi kita untuk mandi sepuasnya di hadapan publik tanpa perlu merasa malu, mandi dengan menggunakan sabun merek Gila guna membersihkan kulit kita dari lapisan kewarasan yang berminyak—menempel di tempat-tempat yang susah terjangkau dan sulit hilang.

FISIP adalah tempat dua orang gila dapat saling menatap, menyampaikan pesan sakral melalui tatapan mata tanpa perlu membuat orang sebelah tertular dengan kegilaan mereka, menghisap dan menghembuskan kegilaan masing-masing serta melukis bayangan hati di udara menggunakan hasil pertukaran oksigen dan karbon dioksida di dalam paru-paru, untuk kemudian menyudahi (meludahi?) segalanya dengan seteguk kopi. Ampas kopi tersebut menjadi cat muka dan lantas termaktub dalam kulit kepala seorang pemain teater, dengan segenap geloranya, di sebuah pertunjukkan teater di Teko. Aku dan kau yang melihatnya pun menjadi gila.

Kita santap kegilaan itu sembari dipaksa baca tentang orang-orang gila terdahulu, yang dengan kulit pohon dan tinta mampu membunuh orang ratusan tahun di masa depan. Jika lelah, kita memakai baju necis dan mencari pasangan jantan dan betina untuk kita pinang, dalam rangka menambah koleksi gelas pecah di rak lemari kosan, untuk kelak kita prasastikan dengan rapih di antara Das Kapital dan buku saku lagunya Pak Dibyo. Gelas-pecah hasil senggolan raga yang gila yang jiwanya berniat baik.

Selain itu, FISIP adalah tempat manusia saling menernakkan kegilaan mereka masing-masing dan mengajaknya jalan-jalan sambil menyeringai melihat rumput tetangga yang tampaknya tak lebih hijau. Tentu, bagi dunia luar, FISIP adalah ruh dari kegilaan itu sendiri, tetapi bagi kita, FISIP adalah penjara yang paling nikmat. Pa-ling-nik-mat. Dinding-dindingnya menjaga, meninabobokan kita dari kegilaan yang hakiki. Hanya orang gila yang menyebut dirinya gila—apa kebalikannya?

Di FISIP, kegilaan di Takor dijual dengan harga tiga ribu rupiah: ada yang berwarna ungu, ada yang lebih berona kemerah-merahan, namun semuanya dijual dengan harga tiga ribu rupiah oleh beberapa anak kecil gila yang tak tahu bahwa dalam kantong kresek hitam yang mereka tenteng-tenteng terdapat senjata pemusnah massal yang dapat meledakkan pori-pori gila kita dari cengkeraman amarah dan depresi yang dengan berjalannya hari semakin membuat kita bungkuk, lesu.

FISIP yang gila adalah tempat di mana lututmu dan lututku dapat mencari di mana penciptanya, tempat kita mengadu kegilaan tanpa khawatir dibilang gila hanya karena kita seakan-akan tengah asik berbicara dengan seseorang yang tak ada di depan kita—tetapi aku dan kau tahu bahwa kematian nanti akan membuktikan semuanya.

Baca, diskusi, dan tulislah kegilaanmu di saat kau dan tetangga gilamu sedang dengan anehnya membaca buku di tengah-tengah pesta, pun tanpa sadar saling berjatuhan dalam cinta. Injak lah rumput. Jelajahi tangga gedung H sebelum dirimu lulus. Salam.

(Mitrardi Sangkoyo)


Membaca tulisannya, tidak pernah membutuhkan waktu sebentar. Sebab, ketika pelupuk mata sampai pada kata terakhir, ada kekuatan maha dahsyat menyeret kembali menuju baris pertama.

Meraba deretan abjad yang disusunnya, darahku seperti dialiri sensasi kegilaan yang sama. Dasar, manusia penular virus gila.

Meresapi tuturnya, aku dipaksa kembali mengingat masa berjuang hidup mati demi diterima di FISIP UI.

Rasanya aku sudah mengecap (yang disebutnya kegilaan), sejak belum resmi diterima. Sendirian ke kota megapolitan-yang sebentar lagi akan jadi tryanopiltan-dengan cuma berbekal tekad dan nekat.Saat itu keputusan sudah bulat, tidak akan pulang sebelum diterima.
Kemudian…..
Seperti bocah bayi kehausan, FISIP menjadi “ASI” tersendiri untuk ku.
Obat dahaga akan rasa ingin tahu, kehidupan bergizi dengan belajar peduli; disini sensitivitas kemanusiaan diasah jadi senjata tajam untuk bicara keadilan.

Awalnya menggila-menjadi gila-seperti sebuah tuntutan, sungguh. Satu per satu realita tampak, pikiran dan hati pun bergejolak. Berdiri antara takjub dan berontak.

Hingga secara perlahan, semua kewaspadaan lucut bersama meteran kewarasan yang makin hari menurun.

FISIP serta merta menjadi candu dan memabukkan di waktu bersamaan.

Jadi benar katanya: “FISIP bagi saya adalah tempat untuk mengembangbiakkan kegilaan, tempat kau dan aku belajar melepaskan sisa-sisa kewarasan yang kita bawa dalam keranjang-piknik-rajutan setelah melamun di padang rumput hjiau mana pun yang menjadi tempat berpijak kita sebelumnya.”

Credit image : pinterest

By firdhaussi

Still human;

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s