Namaku Sandi. Ya, Cuma Sandi. Tak pakai nama depan, nama belakang, apalagi nama keluarga. Aku memakai kacamata berbentuk setengah bulan dengan sedikit retak. Tak banyak yang tahu, kalau mataku sehat-sehat saja. Ku pakai hanya untuk menutupi guratan halus, berwarna coklat tanah yang membuat mataku sedikit redup. Memanjang dari pojok hingga bola mata, dengan dua cabang guratan di tengah. Kalau gerhana bulan datang, guratan itu terasa berdenyut, seolah makhluk katalis menyeruak hadir.
Namaku Sandi. Wujudku seperti manusia, meski takdirku fungi. 85 % gen manusia dalam tubuhku adalah hasil curian. Empat ratus lima puluh tahun, aku bertahan dalam tubuh asing, juga kegiatan “manusiawi” yang sangat membingungkan, sekaligus membosankan. Rasanya aku mau loncat keluar bak kuantum, Namun naluri fungi ku bilang sebentar lagi. Setelah semua fungi di dunia terkoneksi. Barulah, aku bisa buang tubuh nista nan lapuk ini.
Namaku Sandi. Titik Pusat dari semua koneksi. Saat paduan gen ku telah beradu, maka jadilah aku. Aku, sandi yang harus dipecahkan agar semua koneksi lebur dalam katarsis. Sudah saatnya fungi jadi penguasa Bumi. Menggantikan homo ludens yang dungu.
Aku lah Sandi. Dalam diri ku, terkubur tabir pembuka cakrawala yang gemboknya masih mengkristal. Akulah buih, yang menyelundup, menyeruak. Menjelma jadi peretas disekuilibrium semesta.
Firdhaussi,
Cibubur, 19 Maret 2016
2 replies on “Diorama Sandi”
semoga sandi bukan rupa rahasia. Karena Ia biasanya sendiri, jarang berbagi.
LikeLike
Dia fungi! Dia terkoneksi
LikeLike