akan jadi post paling panjang sepertinya
Kemarin, tepat di tengah huru hara kemeriahan pelepasan sarjana di kampus. Ada satu post path dari salah satu teman yang membuat saya menangis sejadinya. Merinding saya membacanya seolah ada mantra dalam aksaranya.


Saya harus akui, saya sangat sentimentil ketika bicara tentang anak-anak. Keterikatan saya pada dunia ini,rasanya sudah terpatri dan mungkin akan terus bertumbuh.
Teman-teman sering bertanya mengapa saya mudah akrab dengan anak kecil. Saya pun jadi bertanya-tanya mungkinkah saya memang berkelakuan seperti anak kecil? Semacam ‘peterpan’ atau bahkan ‘childish’? Waktu saya bertanya tanya soal itu, salah satu kawan berkata “Ngga kok, kamu ngga seperti itu. Kamu cuma hanya sangat menghormati cerita masa kecilmu. Jadi kamu terus hidup dibawah kenangan itu. Dan bersikap seperti itu membuatmu bisa membagi kenangan indah masa kecil dengan anak-anak yang hidup sekarang.”
Ah ya, berbagi kebahagiaan. Dari dulu suka sekali ketemu anak-anak.



Seorang anak berjualan tissue. Saya baru melihat semacam ini. Mirisnya, ini ada di Kota Layak Anak. Pertama kali kenal Iyan, dia bilang ingin kuliah di Fakultas Teknik UI :” Di gambar itu, Iyan torehkan sejumlah coretan. “Tessa” adalah sahabatnya, yang setiap kali dia jual dengan harga tiga ribu dan ia gambar dirinya sedang membawa seplastik tissue besar sedang belajar di FT UI. Getir.


Kali kedua bertemu anak-anak. Mereka adalah anak-anak dari Desa Ciasihan, Kabupaten Bogor. Mimpinya mungkin terdengar sederhana, tapi buat saya sangat mulia. Kebanyakan mau jadi guru ngaji atau guru sekolah. Bukan supaya seperti orang kota, tapi biar semua orang bisa merasakan nikmatnya belajar.

Kampung Fisip terletak di Sawangan, Depok. Kehidupan mereka setangah urban namun kebanyakan tidak lulus SD. Berprasangka baik dan tetap ceria menghadapi dunia adalah pembelajaran berharga yang saya dapat dari setahun bersama mereka.


Inyo, Aini, Anita, Iki, dan anak-anak yang lain adalah hari-hari saya di Kampus. Melalui senyum dan canda mereka, saya belajar ‘kita tidak bisa memilih lahir dimana dan dilahirkan siapa. Namun hidup terus berjalan dan hiduplah dengan sebaik-baiknya sebagai manusia’

Sekolah Kita Rumpin (SKR) adalah kehidupan saya kini. Berlokasi di Desa Cibitung dan Malahpar, sebuah sekolah alternatif yang menawarkan pembelajaran alternatif. Dari mereka saya tau dunia tidak baik-baik saja. Tapi tetap menjadi orang baik adalah pilihan terbaik. Tak terasa hampir 8 bulan sudah disini.

Adik kesayangan di SKR. Pertama kenal langsung jatuh cinta. Seolah saya mengajarkan dia bersajak dan deklamasi puisi. Namun sesungguhnya saya belajar jauh lebih besar makna ketulusan, kegigihan, dan memaknai hidup dengan lebih dalam. Kamsiah Badriyah! ๐
“Anak-anak selalu jadi ladang berbagi dan lautan pembelajaran yang paling baik.”
Maka, dengan segenap kerendahan hati saya persembahkan beberapa bulan kedepan untuk mengerjakan skripsi yang akan berfokus pada anak-anak juga kaitannya dengan media dan lingkungan. Mimpi jangka panjang : ingin punya buku dongeng dan jadi researcher di bidang ini. Sebab, mengutip Nina Armando “Di dunia penelitian media, anak-anak masih menjadi dunia sunyi.”
Doakan ya dan semoga semesta senantiasa mengamini.
Cibubur, 27 Agustus 2016.
4 replies on “kids.”
Semangat kak iik :’)
LikeLike
So do you, Dea ๐
LikeLike
Semesta akan selalu mengamini apapun langkah baik mu, Kak Iik ๐
LikeLike
Pun begitu denganmu. Semesta tidak pernah pilih kasih ๐
LikeLike