21 Maret 2017
(Untuk Yu Patmi)
Tidak ada kematian yang lebih baik dari kematian yang ditulis oleh orang banyak. Kematian yang dikenang dalam panas kemarahan dan dinginnya ketidak adilan.
Yu, dulu waktu aku masih netek, emakku pernah bilang gini, “Bumi itu perempuan. Makannya kamu ndak akan pernah dengar istilah bapak tapi ibu pertiwi.” Dulu aku tidak percaya itu Yu. Namun hari ini, waktu kabarmu disiarkan dimana-mana, aku seperti melihat sendiri, bagaimana dua perempuan saling bertemu dan memeluk satu sama lain. Konon perempuan memang selalu jadi simbol opresi lho, Yu.
Kematian memang selalu jadi misteri ya, Yu. Diceritakan dalam banyak legenda rakyat, ditembangkan dalam kidung-kidung, diromantisasi lewat sastra. Kematian sendiri menurutku adalah kehidupan dalam bentuk yang lain. Lha apa benar itu, Yu?
Aku kok jadi ingat kata pepatah jawa. Katanya hidup itu cuma mampir ngombe. Apa kematianmu ini pertanda Yu? Sudah tidak ada air yang bisa Yu Patmi minum sebab kini sungai-sungai kering. Orang-orang sudah nda butuh air Yu. Butuhnya rumah yang temboknya tebal. Biar tidak bisa saling mendengar tetangga sebelah lagi kesusahan. Sawah sekarang tidak butuh air Yu. Sawah dan ladang kini berganti pemukiman dan pabrik. Orang makin banyak, ibu bumi sudah jadi kalah-kalahan. Yang penting hidupnya enak Yu. Sudah tidak kepikiran lagi mau jaga buat anak cucu.
Yu, sekarang aku iri sama njenengan. Kami yang masih hidup ini lantas harus bagaimana?
Firdhaussi,
Kebayoran, 21 Maret 2017