Pada enam puluh detik lampu merah kita bertemu
Matamu mengilat, lebih kilau dari bulan setengah purnama
Mengembang pipimu tatkala meniup pianika biru muda
Melulur irama mendera serupa senandung ibu
membuyarkanku dari senandika
Kau tersenyum, mengikik, terangguk
Menggeleng jenaka, rambut kuncir kuda
Dukamu sudah ku buang jauh tak terperi
Dan tanganmu sudah terampil mengadah
Menjumputi receh dari pekerja paruh baya
demi penuh kantong berat yang kau gantung pada leher mungilmu
Kakimu pasti mengapal sebab tak mencicipi sandal
Jinjit jinjit mencipta langkah menuju kolong hunian
Rumah kardus tanpa jendela, kau tinggali bersama adik lakimu
yang airnya pasang menggenang kalau hujan datang
Tak mengapa gadis kecilku
Jiwamu murni, lagi bestari
Dukamu telah ku buang jauh tak terperi
Pondok Pinang,
Agustus 2017
image: pinterest