Di garis pantai, kamu tunjukkan aku cara terbang, menggapai langit dan berserah pada hembusan angin malam. Di waktu lain, kau minta aku untuk terbang bersamamu. Janji tak akan melepas gamit tanganku. Takut-takut aku mengangguk. Menyerahkan keberanianku pada burung camar kelana angkasa.
Aku terbang
Berani
Tinggi
Makin tinggi
Tak terkendali
Aku terbang
Mengudara
Melayang
Selayang
Mengabur jarak pandang
Apapun itu: faktanya aku terbang. Begitu bukannya?
Gadis terbang yang tak risau arah sebab batinnya dibuai kasmaran.
Tepat saat laut sedang pasang-pasangnya, burung camar itu berhenti mengepak sayap. Pada si gadis pemberani—aku, ia mengicau,
“Sampai di sini kita terbang.”
Si burung tak tau kemana hendak dituju. Lautan lepas bersama debur ombak melantang, atau pegunungan beri jiwa berhawa tambun?
“Kalau begitu, apakah kita akan mendarat bersama. Menapaki bumi kembali layaknya kita memulai terbang bersama?”
“Oh gadis kecil, tidakkah kau lantas paham?”
Gadis kecil terburu menukik tak terkendali. Tak hirau pada laut atau pegunungan akan tergapai. Mengerang, murka untuk sesaat, dan menghalau itu semua, aku lalu tersenyum. Ku bentangkan kedua lengan tangan lebar-lebar dan membiarkan wajah meresapi angin malam bumi selatan. Aku hirup dalam senyap: kebebasan.
“Kali ini aku betul-betul terbang. Terbang dengan arah, dituntun alam. Inilah aku, terbang untuk menjadi pemberani, serasa sari pati hidup.”
Burung camar pikir tugasnya telah usai pada gadis kecil pemberani. Ia sematkan seringai pada paruhnya dan mengitari permukaan laut.
“Kamu bukan yang pertama ku ajak bersua pada birunya langit gadis kecil. Kamu pun tak kan jadi selamanya bersamaku. Langit terlalu luas untuk ku arungi bersama satu orang sahaja. Jadi, sia-sia kalau kau merasa istimewa.”
Salatiga,
11 Juni 2018
Image: pinterest