Kepada Mbah Putri aku bertanya,
“Kemerdekaan itu sebenarnya apa Mbah?”
Mbah Putri diam, ingat dulu tidak semua orang boleh sekolah. Hanya orang-orang yang dekat dengan uang dan jabatan yang bisa mengenyam.
Mbah Putri ingat bagaimana dulu, satu telur ayam harus digoreng tipis-tipis agar bisa cukup dibagi rata pada delapan anaknya.
Mbah Putri menarik dada buat mengambil napas dalam-dalam.
“Kemerdekaan itu ketika hak sebagai warga negara bisa terpenuhi, hak untuk hidup layak dan berpendapat.”
Aku terdiam beberapa saat.
Kataku, “Mbah tapi sekarang masih banyak orang yang juga menelan kemiskinan dan tidak bisa pergi ke sekolah. Apakah mereka juga sudah merdeka?”
Kami terdiam.
“Cucuku, kemerdekaan itu punya penguasa.”
Lalu aku tertawa.
Mbah Putri jadi menoleh memperhatikan wajahku seksama.
“Lucu nggih, Mbah. Setiap tahun ada pengibaran bendera merah putih di istana. Setiap tahun juga kita menyanyi Indonesia Raya. Lalu kirim doa-doa buat pahlawan di buku sejarah. Kita semua lagi di nina bobo-in sama perayaan ini supaya merasa merdeka saja sudah cukup. Padahal, melihat ke dalam lagi, beberapa orang mengibarkan panji di tanahnya sendiri saja masih harus dihalang-halangi.”
Komplek Marinir Cilandak,
17 Agustus 2019
image: Harli Marten