Legenda dimulai saat rasi bintang waluku benderang,
melatis dari langit rimbun-remang
Sepasang petani melingkar janji di atas sebutir benih
Mereka semai di atas ladang kepercayaan
Tumbuh jadi apa ia? Seperti apa buahnya?
Semua terbenam dalam teka-teki
Yang pasti: Petani tak pernah ingkar pada janji
Musim berganti, singgah lantas pergi
Tentu hakikat petani masih lekat: merawat, menumbuh-kembangkan tanaman rindu
Aih, betapa susah!
Rindu tumbuh semakin besar, bersama jarak makin melipat
Tuan Petani lalu pergi tak singkat
Bagaimana kalau benih terseret badai?
Bagaimana kalau benih, bukan tumbuh jadi kasih?
Saat matahari membakar menyisa rintih
Menurutmu benih itu akan tumbuh?
Demi waktu!
Benih mulai menjungkar kecambah
Tuan petani mengirim hujan dari jauh
Hujan yang ia boncengkan lewat awan
Juga angin tanpa gemuruh,
dan setangkup doa mustajab
Puan menjadi penuh harap
Disapanya kecambah tiap fajar tersiar
Sesekali ia kirim pesan lewat merpati
“Tuan, rindu yang kita semai dahulu, kini memanggilmu pulang.”
Ahay! Menurutmu Puan akan pulang? Ada yang berani bertaruh?
Beginilah legenda ini kira-kira akan berakhir….
Dalam hasrat dan damba yang mendublar-dublar,
Tuan petani menyusuri garis pantai sampai ke sungai
Menaiki bukit, kadang-kadang bis kota, lalu menuruni
Terjal dan penuh serembah-serembih
Pada puan seorang ia akan pulang, <batinnya bertekad>
Lalu rindu siap dipanen,
Dihidangkan di atas meja dengan kuah hangat
Tuan dan Puan petani senantiasa berdampingan mesra
Bertani rindu adalah perjudian hidup paling menyiksa
Tapi satu yang pasti: Petani tak pernah ingkar pada janji
Geylang, Januari 2020
Image: Pinterest