Aku terbangun di sebuah padang bunga chrysan. Luasnya seperti terbentang dari satu sisi ujung bumi ke ujung yang lain. Sejauh mataku memandang dan berkeliling, kudapati chrysan yang tumbuh berjajar rapi, berbaris dari warna gelap ke warna yang lebih terang. Saat aku menengok ke langit, tidak ada awan berarak-bertaut seperti biasanya. Hanya biru, terang dan tenang.
Melangkah mantap aku menerjang semak, menuju barisan chrysan yang berwarna oker.
<Apakah ini mimpi?>
Batinku bergemuruh, menyadari bagaimana aku bisa sampai ke padang bunga ini. Bagaimana mungkin, hamparan pesona chrysan hanya tersaji untuk seorang aku. Bahkan, jika diingat lagi, apa yang sudah aku lakukan hingga aku pantas mendapat nuansa surgawi ini.
Semerbak chrysan mengantarku pada pemandangan selanjutnya. Sebuah danau. Danau yang tiba-tiba disisipkan diantara jeda kedipan mata. Dari jauh, air di danau tampak mengkristal. Bercahaya dengan penuh sahaja.
Kembali ku langkahkan kaki mengikuti naluri yang sedari tadi membisikkan, “melajulah.”
Dalam jarak kurang dari panjang satu ular piton dewasa, aku dapat melihat danau menyimpan warna serupa batu topas biru. Tubuhku mendekat.
Kakiku sekarang sudah telanjang. Tiap pori-porinya mencicipi dingin dan segar aroma danau topas. Sensasi sama yang aku dapat saat sedang meneguk es kelapa muda. Keduanya akan kucecap tanpa ampun.
<Aku tidak bermimpi.>
Aku memancing.
Aku membakar ikan.
Aku menyeduh daun dan mahkota chrysan.
Aku membuat mahkota bunga.
Aku bernyanyi bersama hening.
Aku menari dalam ketukan aliran air danau.
Aku menggambar di tanah.
Aku memainkan batu laksana gundu.
Aku berpetak umpet bersama diriku.
Lalu tinggalah aku.
Manusia, selalu memikirkan keakuan saat sedang sendiri dan kesepian.
Selatan Jakarta,
18 Agustus 2020
Feature image: Pinterest
firdhaussi.com 