Seorang dosen antropologi masuk kelas mengenakan kemeja putih bersih dan celana berbahan jins dengan warna biru terang. Belakangan aku tahu, itu adalah setelan yang tiap hari ia kenakan. Entah berapa banyak kemeja putih dan celana jins di lemari bajunya. Namanya Mas Eza.
Hari pertama belajar Antropologi, Mas Eza melempar pertanyaan, “Ada yang pernah dengar Nacirema?”
Seisi kelas menggeleng. Aku mencoba mengingat-ingat apakah kata Nacirema pernah masuk dalam kotak penyimbanan perbendaharaan kata di kepalaku. Semakin dalam aku cari, semakin aku pusing.
“Nacirema adalah sekelompok suku di Amerika Utara. Ceritanya pernah ditulis oleh seorang Antropolog bernama Horace Miner.”
Fiuh, untung saja Mas Eza mau menjelaskan sendiri.
“Suku ini mengedepankan ritual dan sangat mengutamakan penampilan tubuh. Banyak ritualnya dianggap barbar karena tidak jarang menggunakan kekerasan untuk mencapai keindahan. Misalnya, mereka punya ritual datang ke dukun untuk meratakan gigi dengan cara dipukul, membersihkan gigi dengan bulubabi, juga banyak ritual lain yang fokus pada keindahan dan kebersihan tubuh. Penghasilan mereka hampir dikerahkan untuk ritual semacam ini. Setiap rumah suku Nacirema memilik kamar suci untuk menjalankan ritual. Semakin banyak dan bagus kamar suci, semakin kaya lah ia,” Mas Eza menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi.
Semuanya mencoba menerawang dan membayangkan seperti apa rupa suku ini.
Tiba-tiba, Mas Eza mengagetkan seluruh ruangan dengan pertanyaan, “Nah, gimana pandangan kalian tentang suku Nacirema?”
Beberapa orang terlihat mengangkat tangan.
“Primitif Mas.”
“Terbelakang karena hanya memikirkan penampilan.”
Mas Eza mengangguk-angguk. “Ada lagi?”
“Aneh,” kata satu orang di belakang.
“Oke, biar saya jelaskan. Suku Nacirema ini sebenarnya tidak ada. Hanya fiksi.” Mas Eza mengambil spidol dan menuliskan besar-besar di papan tulis.
N A C I R E M A
Suasana kelas amat senyap. Semua terdiam dan menerka arah pembicaraan Mas Eza.
“Begini,” Mas Eza mulai duduk di meja sambil memandangi satu persatu wajah anak didiknya. “Reaksi kalian tadi saat mendengar cerita saya sama dengan kebanyakan orang saat membaca penelitian Horace Miner. Tapi tahu kah kalian bahwa Nacirema sebenarnya adalah satir yang ditujukan untuk orang Amerika, khususnya kalangan akademisi dan antropolog. Baca kata Nacirema dari belakang.”
A M E R I C A N
Aku sampai harus membetulkan posisi duduk.
“Horace Miner mencoba menjelaskan bahwa kita tidak bisa melihat sebuah kelompok budaya dengan kacamata dan presepsi kita. Ketika kalian tadi mengatakan aneh, primitif dan sebagainya kalian sedang menggunakan kacamata kalian semata. Padahal sebenarnya orang Amerika sendiri juga memiliki kebiasaan menggunakan uang mereka untuk ritual kecantikan tubuh. Meskipun sakit, mereka rela lakukan. Sama dengan Nacirema.”
Belum selesai.
Mas Eza mulai berdiri dan mendekat ke bangku para pendengar yang masih terheran-heran, “Kita sering memaksakan kacamata itu. Membuat pikiran kita kerdil, meremehkan dan diskriminatif terhadap suatu kelompok budaya, misalnya cara kita kebanyakan melihat Orang Papua. Kenapa mereka tidak suka pakai kaos atau sandal?”
Mas Eza mengambil jeda sebentar. “Pemerintah pernah membuat program modernisasi dengan bagi-bagi baju dan alas kaki. Ujung-ujungnya, kaos nyangkut di ranting, sandal terperosok lumpur. Mereka nyaman dan tetap memenuhi kebutuhan tanpa atribut modern semacam itu.”
Saya mendengar Mas Eza sambil memandang tulisan Nacirema yang tertulis besar-besar di depan.
Mas Eza mengambil buku di mejanya, “Saya harap kita semua dapat belajar antropologi dengan pola pikir dan prinsip semacam itu. Belajar budaya dengan azas keadilan.” Lalu, Mas Eza keluar kelas.
Kelas baru saja mungkin berlangsung tidak lebih dari setengah jam tapi begitu mencerahkan. Kelas pertama Ilmu Pengantar Antropologi adalah kelas yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Sejak kelas pertama itu juga saya telah berjanji akan berlaku adil sejak dalam pikiran dalam melihat kelompok budaya manapun.
Artikel Horace Mitchell Miner, Body Ritual among the Nacirema dapat dibaca: di sini.
Mei, 2020 (Tujuh tahun setelah kelas pertama Antropologi)
Feature image: Pinterest