Salah satu yang berkesan saat plesiran di sekitar George Town, Penang adalah seorang uncle yang menabuh keramaian di sela kerumunan. Uncle tersebut disibukkan dengan kaleng aneka rupa, ukuran, hingga nama brand yang masih belum dilepas. Setiap ukuran menghasilkan suara yang berbeda. Seolah tiap kaleng adalah instrumen, maka uncle menjelma dirigen yang mengayunkan tongkat, mengatur naik turun sehingga membentuk alunan harmoni.
Kalau saja aku mendengarkan irama musik hasil pukulan tangan uncle dengan mata terpejam, aku tentu tidak akan menyadari bahwa ia berasal dari kaleng bekas. Telingaku mencerna nada demi nada yang sama saat memproses lagu yang dimainkan dengan alat musik profesional. Satu yang paling nyentrik di antara kaleng bekas adalah adanya teko air yang punya sensasi bunyi mirip cymbal. Ia biasanya dipukul saat bait terakhir penutup sebuah lagu atau penanda jika uncle ingin memulai lagi berikutinya.
Perawakan dan kesendirian Uncle mengingatkan aku pada bait larik lagu Kla Project:
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu
Getir bila tahu bahwa keberadaan Uncle untuk menghibur demi mencari sekaleng koin. Sementara hatinya terus terpupuk rasa kesepian mandalam. Juga rindu dan kedambaan yang mendera jauh pada keluarga dan tempat asalnya.
Presensi Uncle hari ini juga mengingatkanku pada semangat memelihara kehidupan. Dalam spektrumnya yang paling pedih pun, kita tak bisa lari. Maka siasat terus dipertaruhkan dengan penuh pergulatan. Uncle penabuh membuka ruang retrospeksi sekali lagi dan mempersilakan aku masuk tanpa mengetuk. Hingga saat keluar nanti, aku akan lebih siap dan berani berhadapan dengan atraksi kehidupan sarat bahaya dalam jenaka.
Kamsia, Uncle. Kamerad pamit untuk suatu hari nanti akan berkunjung lagi ke sini.
Cilandak, 2020
Image: Private document
firdhaussi.com 