Jagat Asah Asih Patricia Piccinini

firdhaussi.com

Selama ini yang aku sering dengar adalah konsep Darwinian ‘survival at the fittest’ yang menempatkan kita pada situasi dimana kalau mau bertahan ya harus mampu beradaptasi. Pendekatan ini didominasi tentang memenangkan kompetisi, keluar menjadi yang terbaik, terkuat, terindah. Menjadi ‘Si Paling’

firdhaussi.com

Di pameran ini aku dikasih lihat bahwa emosi dan hasrat kita yang paling mendasar itu kepedulian dan welas asih. Dua moda yang sering diabaikan, tapi justru membawa kita pada kemungkinan masa depan yang lestari dengan kemampuan koeksistensi (hidup berdampingan) bersama berbagai makhluk—manusia, hewan, tumbuhan, jamur, mesin, sepatu, makhluk buatan rekayasa genetika, atau bahkan makhluk mistis.

firdhaussi.com

firdhaussi.com

Pendekatan hiper-realis untuk menciptkan Chimera (makhluk surealis) memang memberi kesan seram tapi juga sekaligus membuka ruang tanya di dada: Bisa kah kita tetap peduli dan welas asih pada apa-apa yang tidak kita ketahui (alami/buatan) dan tidak indah?

firdhaussi.com

firdhaussi.com

firdhaussi.com

Nietzsche pernah menyinggung kalau “Morals have aesthetic criteria.”
Waktu kita bunuh kecoa, mereka sebut kita pahlawan. Sebaliknya saat yang kita bunuh adalah kupu-kupu cantik, orang menyebut kita jahat.

firdhaussi.com

Menghayati semesta Patricia Piccinini memang terasa menggelitik, tapi tetap nyaman, lirih, dan halus penuh kasih sayang. Terasa juga bagaimana pameran ini dekat dengan jagat anak-anak melalui tutuan kata pada ‘Panduan untuk Anak-anak’ dan aktivitas di sudut Kindred Kinder.

Firdhaussi, Jakarta 14 Juli 2024

Leave a comment