Semalam aku berjalan-jalan ke surga. Saat itu hari fusyu’ dan surga sedang sepi-sepinya. Kata Jewan, kapten penjaga surga, penduduknya sedang bepergian. Ketika ku tanya kemana kira-kira mereka pergi, dia cuma menggeleng.
Surga punya sebuah bukit. Cukup tinggi. Ku pikir tidak terlalu berbeda dengan di bumi. Hanya saja bukit di sini dipenuhi melodi yang mengudara. Melodi yang merupakan pertemuan angin yang nampak seperti gumpalan udara yang mengendap dengan benda misterius yang berdawai panjang-panjang. Tidak seperti gitar, mungkin lebih mirip dengan harpa. Namun, ukurannya lebih kecil dan di bukit ini benda itu sangat banyak. Melayang-layang di angkasa. Mengelilingiku seolah dia menyambutku. Melodi-melodi itu sebenarnya terdengar aneh di kupingku. Temponya tidak beraturan, tangga nadanya melompat semrawut, dan ketukannya hampir tidak terkendali. Yah, setidaknya lebih baik dari suara gesekan karet dan aspal berderit, juga klakson yang bersahutan ketika aku di bumi.
Tidak butuh lebih dari 10 milisecond untuk mendaki bukit itu. Kau tahu, rotasi di surga memang jauh lebih cepat dibanding bumi. Makanya portal yang menghubungkan bumi dan surga dijamin sulit ditemukan. Kau pasti penasaran bagaimana aku bisa menemukan portal. Simpan penasaranmu itu, pertanyaan memang selalu bersanding dengan jawaban. Namun, kadang kau butuh usaha extra untuk menjodohkannya. Hidup itu seperti permainan TTS yang misterius.
Kembali ke bukit tadi, kini aku sudah berada di puncak bukit. Tepat di puncaknya ternyata terdapat padang yang sangat luas. Serta merta ada sesosok ah aku tidak tahu apa namanya. Hampir seperti cahaya, tapi tidak terang. Aku yakin lebih redup dari lampu warung nasi goreng pinggir jalan margonda. Aku yakin sosok itu—cahaya redup itu hidup. Aku yakin sekali. Dia seperti menatapku, tanpa mata. Aku dan dia nampak berkomunikasi dan kami langsung saling paham. Benar! Aku yakin dia Tuhan. Aku bertemu Tuhan di surga! Betapa beruntungnya! Sayang aku tidak bawa phone atau kamera. Kalau aku jadikan ini konten vlog tentu aku akan benar-benar menjadi populer.
Hey tunggu, yang benar saja! Tuhan mendekatiku. Gerakannya pelan tapi aku tau dia akan tiba lebih cepat ke hadapanku dibanding yang ku kira. Untuk beberapa lama kami mengobrol. Aku tidak menemukan kata yang tepat. Tapi kami benar-benar mengobrol. Tanpa verbal, tanpa sepatah kata apalagi bahasa. Hanya saling memahami.
Di surga, Tuhan menjadi dirinya sendiri, ku rasa. Dibalik semua label kemahaan yang dilekatkan oleh manusia kepada dirinya, Tuhan yang ku temui di surga ini benar-benar berbeda. Tanpa atribut ketuhanan, kedewaan, dan keberhalaan. Benar-benar Tuhan yang lain.
Tuhan di hadapanku ini suka sekali bercanda. Leluconnya membuat aku beberapa kali terpingkal-pingkal. Malah kadang membuat mataku sampai berair. Sensor kelenjar air mata menjadi sangat aktif menyerap rangsangan ketika di surga. Tuhan terasa begitu humoris, lagi manis. Kadang Tuhan juga melantunkan kidung. Entah bagaimana kidung itu seperti tidak asing. Kidung itu membangkitkan memori di dalam labirin kepalaku. Membuat sedikit acak-acakan, bertabrakan sana-sini, amburadul. Memori yang mahal dan lama ku ternakkan baik-baik dalam rangka otakku. Kini, aku rasa mulai menyukainya. Tuhan yang apa adanya.
Kau pernah bertemu sahabat lama di kereta? Ada begitu banyak hal yang saling dilewatkan dan terlalu menyenangkan untuk berbagi. Mungkin kau juga pernah mengobrol dengan orang yang baru saja kau kenal di stasiun. Kalian yang sama-sama terjebak menunggu kereta yang jalurnya mengalami gangguan. Sehingga kau merasa sepenanggungan dan bisa saling berbagi keluh. Mungkin juga kau pernah bertemu dengan orang yang berbagi tempat duduk di kereta ketika kau sedang lelah-lelahnya. Seperti ia memahaminu benar dan kalian sanggup berbagi resah. Dalam pertemuan yang entah singkat atau lama ini, Tuhan mewakili itu semua.
Ketika kami sedang berjeda mengobrol, aku mengamati sekitar. Dari puncak bukit di surga ini, bumi nampak kecil. Namun, aku bisa melihat dengan jelas dia seperti perempuan tua yang sedang sekarat. Bentuknya tak lagi bisa dikatakan bulat karena benar-benar mengerikan. Benjolan dan lubang di sana-sini. Awan-awan tipis dan lapisan atmosfer nampak seperti rambut yang sudah menguban. Gunung-gunung yang keroak nampak seperti gigi perempuan tua yang tanggal sebagian dan sebagiannya lagi sudah keropos. Pohon dan tanaman yang tinggal sedikit tersisa nampak seperti otot-otot perempuan tua yang mengendur. Lautan jadi kelihatan keruh dan berminyak seperti pori-pori yang penuh cendawan, lapuk dan tidak sehat. Bumi dari sini benar-benar seperti perempuan tua yang menyedihkan. Sendiri menunggu kematian yang mungkin tak lama lagi.
Oh tidak! Di bumi nampaknya hari sudah hampir pagi. Aku harus segera kembali segera setelah matahari terbit, portal akan segera menyusut dan aku harus kembali ke bumi. Aku ingin tinggal lebih lama di surga tapi terlalu banyak hal yang harus ku kerjakan di bumi. Tidak banyak waktu dan nyawa yang ku punya untuk banyak asa yang menunggu diwujudkan. Namun ku yakinkan dalam hati, seorang pengembara tidak pernah mundur barang selangkah. Aral lintang akan jadi kekuatan kalau mau bersabar dan berpikir.
Segera aku berpamitan dengan Tuhan dan Tuhan segera mengerti. Tuhan telah mengatakan selamat tinggal tanpa melambaikan tangan. Tuhan berisyarat agar aku berhati-hati. Aku menganguk dan tersenyum. Senyum yang membawaku pada ingatan bulan sabit yang kita tonton bersama ketika kita meresah bersama. Lengkungan bulan sabit yang mengantar kita ke rasa yang paling dalam dan tidak terdefinisi. Sebentar aku sadar, surga tidak punya langit. Jadi mitos itu benar, surga itu sendiri ada di langit. Kini aku tahu, bumi dan kita yang berada di bawah bulan sabit berkali lebih indah dari surga. Setidaknya untuk sekarang.
Pagi datang dan aku terbangun di atas permadani rumput yang mengembun. Semalam aku berjalan-jalan ke surga dan canda Tuhan yang terus berkabar, perlahan menubuh bersama kehidupan yang terasa sangat lucu akhir-akhir ini.
Jakarta Timur,
26 November 2016
source image : pinterest.com
2 replies on “Semalam aku jalan-jalan ke Surga”
[…] terbang Berani Tinggi Makin tinggi Tak […]
LikeLike
[…] Semalam aku jalan-jalan ke Surga […]
LikeLike