aku pernah mengira kalau hidup adalah sekumpulan tragedi demi tragedi yang mengalun tak berkesudahan, seperti suara biola yang berderit dan menyayat kuping
tapi seperti pandemi, kamu kemudian datang, sekejap mata, menawarkan musik full senyum sayang, seperti gerimis yang merangkul kaki telanjang anak-anak kecil. kecipak-kecipuk di genangan
Lain waktu aku mengira kalau hidup adalah sekawanan predator terlalu menegangkan, membuatku dua puluh empat jam waspada kalau sewaktu-waktu aku diterkam kesedihan dan kemarahan, ditelan, dilumat hingga hanya bersisa nama dan trauma
tapi sekali lagi kamu datang, dengan langkah jenaka, menawarkan seteguk pengalaman yang segar, mengisahkan legenda-legenda baik dan berkali meyakinkan, “Kita baik, kita berakhir baik”
Tapi tunggu…
Apa kita tidak terlalu berbeda?
aku ini anak yang dilahirkan alam dalam kebingungan,
hidupku mungkin indah dan utuh, tapi jauh di dalam semak-semak diri, hari-hariku adalah serial pencarian, pelarian, persembunyian
Apa kita tidak terlalu berbeda?
Kamu dan kawananmu, aku dan duniaku?
Tanpa kata, gerak-gerikmu sudah memperjelas,
“niat baik melahirkan baik”
Maka di sini lah kita melangkah
menyambut petualangan antah berantah tapi dalam ritme yang harmoni
merayakan chaos tanpa saling berpaling
dan izinkan aku merapal harap:
semoga tak tersesat lagi dalam imajinasi
semoga terus hadir menjelma doa dan percakapan dini hari
semoga tidak pergi
lalu aku larungkan harapan itu ke danau toba sana
biar mengalir sampai jauh
biar menghidupi…
Untuk Aci dan Iyon,
Jakarta, 14 Januari 2023
Image: Unsplash